KISAH perjuangan Gregoria Mariska Tunjung hidup mandiri dan jauh dari orangtua demi kariernya di di dunia bulu tangkis akan dibahas di artikel ini. Nama Gregoria semakin terdengar lantaran ia merupakan tunggal putri terbaik Indonesia saat ini.
Demi bisa mencapai status tunggal putri terbaik Indonesia itu, berbagai hal telah dilalui Gregoria. Termasuk hidup sendirian dan jauh dari orangtua.
Baru-baru ini, Gregoria berhasil mencuri perhatian di All England 2023. Ia sukses menembus perempatfinal dan memecah kebuntuan tunggal putri Indonesia selama 10 tahun di All England untuk menempatkan wakilnya di babak tersebut
Sebelumnya, berbagai prestasi pun telah diukir oleh Gregoria dan yang paling dikenal adalah menjadi juara dunia junior pada 2017. Ia juga dianggap sebagai salah satu aset masa depan yang diharapkan bisa membawa tunggal putri Indonesia kembali berjaya.
Lalu bagaimana kisah Gregoria di dunia bulu tangkis hingga ada di titik saat ini? Kepada MNC Portal Indonesia, Gregoria bercerita bagaimana ia memulai pilihannya untuk berkarier di dunia bulu tangkis. Anak tunggal dari pasangan Gregorius Maryanto dan Fransiska Romana Dwi Astuti ini memilih bulu tangkis atas keinginannya sendiri.
Berawal dari melihat tayangan bulu tangkis di televisi, pemain kelahiran 11 Agustus 1999 itu akhirnya tertarik untuk menjajal olahraga tepok bulu. Berbekal raket yang dibelikan ayahnya, Gregoria pun coba-coba dengan memainkan bulu tangkis di depan rumah.
"Kenal bulutangkis umur 6 tahun. Cuma lihat-lihat aja kayak di TV gitu suka ada tayangan bulutangkis. Pertama kali banget ikut coba-coba (main bulu tangkis) umur 7 tahun, tapi belum intens untuk diarahkan ke situ. Jadi cuma di depan rumah," ucap Gregoria kepada MNC Portal Indonesia.
"Bulu tangkis ini pilihan aku sendiri. Karena anak kecil kan, apa aja yang dilihat trus senang, jadi minta bapak beliin raket. Trus waktu itu setiap sore di depan rumah main-main. Udah gitu doang, belum yang serius," lanjutnya.
Follow Berita Okezone di Google News
Tetapi, sejak saat itu bakatnya pun mulai terasah dan mendalaminya secara serius. Meski tidak memiliki garis keturunan bulu tangkis secara langsung dari orangtuanya, ia mendapat dukungan penuh. Hingga akhirnya ketika Gregoria serius mendalami bulu tangkis, ia mendapat pinangan dari klub PB Mutiara di Bandung.
Dari situlah, kariernya dimulai. Sayangnya, Gregoria mengawali hal ini dengan tidak mudah. Lahir dan besar di Wonogiri, Jawa Tengah, membuat ia harus pindah ke Bandung dan berpisah jauh dengan kedua orangtuanya.
Namun, Gregoria yang menganggap dirinya sebagai anak 'mami papi' itu belum mau pindah ke Bandung. Alasan utamanya adalah ia tidak bisa jauh dari bapak dan ibunya.
"Sebenarnya awal aku keterima di Mutiara aku enggak mau masuk asrama. Aku enggak bisa jauh dari bapak dan ibu. Jadi tinggal di rumah di Wonogiri, tapi klubnya Mutiara. Setiap aku main turnamen, aku dibiayai full sama Mutiara, cuma aku belum mau asrama," kata Gregoria.
Akhirnya pada 2010 tepatnya ketika ia duduk di kelas 6 SD, Gregoria baru memutuskan mau pindah ke Bandung dan hidup asrama di klub PB Mutiara. Kekasih Mikha Angelo itu bercerita bahwa awal hidup di asrama ia hampir selalu menangis di setiap malamnya.

"Nangis, benar-benar kayak tiap malem tuh anak bapak dan ibu banget, tidur harus dikelonin, dipukpukin. Itu kan aneh ya karena di asrama udah enggak bisa gitu lagi. Apa-apa dulu di rumah disiapin bapak dan ibu, kayak setiap latihan aku cuma tinggal berangkat gitu kan," kata Gregoria sambil mengenang masa remajanya.
Cerita unik lainnya adalah Gregoria ternyata baru belajar mengikat tali sepatunya sendiri sejak ada di asrama. Sebab, sebelumnya selalu dibantu bapak dan ibunya.
"Bahkan aku masuk Mutiara dulu itu baru belajar untuk tali sepatu pertama kali. Karena saking enggak bisa, jadi awal-awal masuk Mutiara itu baru belajar tali sepatu," lanjutnya.
Akhirnya dalam waktu 1,5 tahun, Gregoria mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut. Ia mulai terbiasa dengan hidup mandiri karena terbantu kehadiran teman-teman sebaya yang ada di klub PB Mutiara.
Meski Gregoria dekat dengan orangtuanya, tetapi ada hal unik lagi yang dimiliki pemain kelahiran 11 Agustus 1999 itu. Ketika bertanding ia mengaku justru tidak mau disaksikan secara langsung oleh sang bapak dan ibu di lapangan.
"Aku tuh enggak bolehin bapak ibu nonton langsung kalau aku main. Tapi kalau nonton jangan sampai aku tahu. Enggak bisa, dari kecil aku enggak bisa ditonton bapak ibu secara langsung. Dulu rasanya takut aja, pas kecil sangat enggak bisa untuk ditonton orangtua. Jadi mau nonton atau enggak, terserah tapi kalau nonton jangan ngasih tahu," sambungnya.
Situasi ini pun terjadi di Kejuaraan Dunia Junior 2017 yang kala itu berlangsung di Yogyakarta, dekat dengan Wonogiri. Ia baru benar-benar menemui orangtuanya ketika sudah menyelesaikan tugasnya di ajang tersebut, yang kebetulan saat itu keluar sebagai juara.

Terlepas dari hal unik tersebut, juara pemain berusia 23 tahun itu tetap bangga dengan kedua orangtuanya. Sebab, ia selalu mendapat dukungan penuh dari bapak dan ibunya meski harus melalui banyak drama karena harus berpisah jarak dan waktu.
"Apa pun hasil saat ini, itu enggak lepas dari usaha bapak ibu. Rasanya dari kecil itu selalu didukung penuh, enggak pernah ngeraguin setiap pilihan yang sama-sama kita ambil. Itu kan risikonya tinggi ya, ngelepasin anak umur segitu (dari kelas 6 SD) untuk jauh dari orangtua, kayak enggak semua orang bisa, baik dari sisi orangtuanya dan anaknya," tutup Gregoria.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis vklogger.com tidak terlibat dalam materi konten ini.